KONSEP DWI TUNGGAL DALAM PROSES PENCIPTAAN BEKSAN MANUNGGAL JATI: SINTESIS GERAK TARI GAYA KERATON YOGYAKARTA DAN PURO PAKUALAMAN
Abstract
RINGKASAN
Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan proses penciptaan Beksan Manunggal Jati dengan konsep Dwi Tunggal. Dalam karya ini, konsep Dwi Tunggal dimaksudkan sebagai percampuran dua gaya tari yaitu Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Fokus pembahasannya terletak pada sintesis gerak tari gaya Kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman. Harapannya penciptaan karya tari ini mampu meningkatkan eksistensi dan memberikan kontribusi praktis dalam aspek pendidikan dan kebudayaan. Penelitian ini menggunakan metode Alma Hawkins yang terdiri dari eksplorasi, improvisasi, dan pembentukan atau komposisi. Beksan Manunggal Jati memiliki konsep Dwi Tunggal yang berarti menyatunya Kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman yang menjadi satu, penyatuan ini merujuk pada elemen pertunjukannya, dalam hal ini pada elemen sintesis gerak tari. Dalam penyajiannya beksan ini mengadaptasi konsep bedhayan yang memiliki tiga struktur yaitu, majeng beksa, inti beksa, mundur beksa. Pola ruang dalam beksan ini menggunakan pola ruang pendopo yang berpengaruh terhadap pola lantai secara keseluruhan serta pembagian struktur gerak. Dalam penyajiannya Beksan ini memegang erat prinsip Joged Mataram yaitu greget, sengguh, nyawiji, dan ora mingkuh.
ABSTRACT
This research aims to present the process of creating Beksan Manunggal Jati with the concept of Dwi Tunggal. In this work, the concept of Dwi Tunggal refers to the fusion of two dance styles, namely Kraton Yogyakarta and Puro Pakualaman. The focus of the discussion lies in the synthesis of the dance movements from the Kraton Yogyakarta and Puro Pakualaman styles. It is hoped that the creation of this dance work will enhance it’s existence and contribute practically to the fields of education and culture. This research used Alma Hawkins method, which includes exploration, improvisation, and formation or composition. Beksan Manunggal Jati has a Dwi Tunggal concept, meaning the unification of Kraton Yogyakarta and Puro Pakualaman into one entity. This unification refers to the elements of it’s performance, particularly the synthesis of it’s dance movements. In it’s presentation, this beksan adapts the concept of bedhayan, which consists of three structures: majeng beksa, inti beksa, and mundur beksa. The spatial pattern in this beksan follows a pendopo floor pattern, which influences the floor patterns and the division of the movement structure. In it’s presentation, this Beksan firmly adheres to the principles of Joged Mataram, namely greget, sengguh, nyawiji, and ora mingkuh.
Keywords
Full Text:
PDFReferences
DAFTAR SUMBER ACUAN
Maryono. 2022. “Tari Sebagai Media Komunikasi Aktual Seniman Di Masyarakat.” Acintya Jurnal Penelitian Seni Budaya. Vol. 14 (nomer 2). 168-181.
Soedarsono, R.M. 2014. Dramatari di Indonesia Kontinuitas dan Perubahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soedarisman Poerwokoesoemo. 1985. Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Hadi, Y. Sumandiyo. 2016. Koreografi: Teknik-Bentuk-Isi. Yogyakarta: Cipta Media.
Pramutomo, R.M. 2022. Wayang Wong Gaya Yogyakarta Ritual Seremonial dan Milenial. Yogyakarta: UPTD Taman Budaya Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
DOI: https://doi.org/10.24821/joged.v24i1.15209
Refbacks
- There are currently no refbacks.
View My Stats