Aluang Bunian Karawitan Minangkabau dalam Pamenan Anak Nagari dari Penyajian Bagurau ke Presentasi Estetik
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk memahami peristiwa musik dalam masyarakat Minangkabau dari perspektif budaya. Dalam kajian budaya, semiotika dan estetika tidak dapat dipisahkan. Kekuatan menafsir, memahami, menginterpretasi, dan menganalisis merupakan hal utama dalam penelitian budaya. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa kesenian tradisi di Minangkabau disebut pamenan anak nagari karena merupakan kesenian tradisi yang tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan rakyat dan dimainkan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sedangkan karawitan Minang disebut sebagai aluang bunian karena berbentuk musik (bunyi-bunyian). Peran dan fungsi aluang bunian sebagai hiburan masyarakat Minang dikenal dengan istilah bagurau yaitu acara kesenian yang diadakan semalam suntuk, dimulai dari setelah sholat isya’ hingga menjelang subuh. Bagurau adalah bentuk seni pertunjukan tradisi lisan yang merupakan salah satu ciri khas budaya Minangkabau. Dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, teknologi, dan konsep estetik aluang bunian (karawitan Minang) tidak hanya sekedar hiburan pamenan anak nagari tetapi mengalami perkembangan dengan mempertimbangkan kaidah-kaidah sebagai presentasi estetik.
The Minangkabau Karawitan of Aluang Bunian in Pamenan Anak Nagari from the Performance of the Aesthetic Presentation Bagurau. Traditional arts in Minangkabau in general are called pamenan anak nagari. The phrase implies the fact that it originated in Minangkabau or Minang folk culture, grew as one of traditional aspects of Minangkabau folk group, and performed by and for the group. Karawitan or traditional musical arts in Minangkabau is called aluang bunian that means musical sounds. An aluang bunian which is presented as an entertainment for Minang people is called bagurau. Bagurau is performed as a cultural event that goes on from dusk (after the evening prayer) till dawn (before the fajr prayer). It is a kind of performing arts—among many other kinds of arts in Minang oral tradition—that exemplifies Minangkabau tradition. Throughout periods of development in science and technology, aluang bunian (Minang karawitan) has underwent an enhancement in its aesthetic values in that it is no longer considered a mere entertainment of pamenan anak nagari but a richer aesthetic presentation with its guiding principles. This article presents cultural, semiotic, and aesthetic studies in which the three contributory aspects (culture, semiotics, and aesthetics) are inseparable since cultural studies involve comprehensions of significations and aesthetic values derived from meaning and sensibility. The abilities in interpreting, inferring, understanding, and analyzing play important role in qualitative research where descriptive analysis method is employed.
Keywords
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.24821/resital.v16i2.1510
Article Metrics
Abstract view : 0 timesPDF - 0 times
Refbacks
- There are currently no refbacks.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.